June 05, 2017

Mendefinisikan Kota Pintar dan Masa Depan Mobilitas Perkotaan

“Bagaimana mendefinisikan smart city? Atau bagaimana mengukur seberapa pintar sebuah kota? Adakah indikator secara internasional? Lalu bagaimana isu smart city versus smart citizen? Dan apakah sama saja bila menyebut smart city dengan digital city? Shared mobility itukah prioritas bagi kota-kota pintar? Bagaimana seharusnya memberikan prioritas pada mobilitas perkotaan?”

Perjalanan penuh dengan suka cita dan diskusi intens kali ini dimulai pada 13 Mei 2017. Tujuh belas jam perjalanan kurang lebih dari Jakarta hingga Cologne ini pun tak terasa lama karena besarnya rasa penasaran dan sekaligus antusiasme untuk segera belajar, berdiskusi dan berbagi dengan peserta lainnya dalam Workshop IAF yang bertema: “Smart City and Modern Mobility”. Setibanya di Gummersbach, obrolan seputar kota pintar dan juga pengalaman beberapa kota di beberapa negara pun mulai tersaji begitu saja dari 25 peserta yang berasal dari 24 negara berbeda ini.

Di kalangan civitas akademika Indonesia sendiri, bahasan smart city bukan lagi perihal baru. Sudah beberapa tahun belakangan topik smart city menjadi populer sebagai topik penelitian dan/atau tugas akhir mahasiswa perencanaan. Namun sayangnya, baik di Indonesia maupun di negara lain, belum didapati guideline ataupun metric untuk mendefinisikan dan menerapkan smart city.

Terlepas dari kondisi tersebut, beberapa kota dan provinsi di Indonesia sudah membuat ‘rancangan’ smart city versi mereka masing-masing. Sebut saja Jakarta, Bandung, dan Medan yang tampak sudah masuk ke dalam ‘arena kompetisi’. Mengapa disebut kompetisi? Setelah Jakarta memiliki Jakarta Smart City Lounge (JSC Lounge) pada akhir Desember 2014, baru tampak beberapa kota mulai tertarik dengan konsep serupa. Meskipun belum disertai dengan kebijakan nasional, Bappenas sudah mulai mengarahkan kota-kota untuk belajar mengenai smart city sekaligus belajar dalam mengolah data dari JSC Lounge. Bahkan belakangan ada kerjasama kementerian dengan enterprise serupa lintasarta dan lainnya untuk membuat gerakan 100 smart cities.

Pada kegiatan hari pertama seminar IAF, seluruh peserta sudah terlibat dalam diskusi intens terkait dengan tema seminar. Daftar pertanyaan sebagaimana yang telah disebutkan di atas muncul begitu saja di hari pertama dan seolah menjadi pokok bahasan berulang di hari-hari berikutnya. Dimulai dengan mendefinisikan smart city. Secara garis besar, peserta terbagi menjadi dua pendapat yakni smart city yang didefinisikan sebagai pengaplikasian ICT (Information Communication and Technology) dalam seluruh pengoperasian kota dan sebagian lainnya melihat kota pintar sebagai kota yang mampu mengakomodir kebutuhan warganya dengan pengolahan data yang tepat dan tidak harus dengan digitalisasi segala rupa informasi dan/atau aktivitas kota.

 Dalam diskusi ini pula dilontarkan pendapat yang didasarkan pada kondisi eksisting di negara masing-masing peserta. Beberapa negara tampak sudah menyusun strategi untuk menerapkan konsep tersebut di ratusan kota di negaranya, sementara beberapa lainnya masih harus berjuang untuk memposisikan warganya siap dengan kehadiran teknologi dalam sistem tata kotanya.

Pada hari kedua dan seterusnya, kami mendapatkan banyak sekali kesempatan untuk bertukar pikiran dari presentasi-presentasi baik yang disajikan oleh peserta dari berbagai negara, pun dari para pakar yang berasal dari Jerman dan juga Belanda. Beberapa poin dapat disepakati bersama dan beberapa lainnya tidak, atau dibiarkan dengan persepsi dan kondisi masing-masing negara.

Mengapa tidak disepakati? Semenjak awal berlangsungnya acara, fasilitator sudah menyampaikan bahwa tidak perlu semua hal disepakati. Bila tidak sepakat, sampaikan argumen secukupnya dan pulang dengan membawa satu insight bahwa ada pemikiran yang demikian itu di belahan dunia lainnya yang perlu kita jadikan pembelajaran, kekhawatiran, atau sebagainya. Toh pada akhirnya, setiap ide perlu dieksekusi di negara masing-masing dan perlu disesuaikan dengan kondisi di negara tersebut.

Lalu isu apa yang menarik bagi saya? Hal apa yang dapat saya jadikan ‘buah tangan’ pun pemantik diskusi baru bagi saya dan rekan-rekan di Indonesia?

Pertama, Indonesia sudah berbuat banyak. Kesimpulan ini saya dapati sesudah saya mempresentasikan mengenai apa yang terjadi di Indonesia kaitannya dengan smart city, TOD (Transit-Oriented Development), BRT (Bus Rapid Transit), dan pekerjaan ITDP Indonesia lainnya di beberapa kota yang ternyata mendapat feedback di luar dugaan saya. Banyak yang memuji pekerjaan kami dan banyak pula yang terkejut dengan apa yang sudah Indonesia (khususnya Jakarta) lakukan untuk menerapkan konsep ini.

Tanpa disadari, kota-kota di Indonesia secara mandiri melakukan inovasi dan perubahan yang kemudian sejalan dengan konsep kota pintar ini. Belum lagi belakangan kota-kota tersebut juga memiliki pemuda-pemuda yang inovatif dan mau beraksi. Baik itu dalam bentuk komunitas maupun enterprise muda yang didukung pula dengan adanya pertumbuhan start­-ups yang cukup signifikan belakangan ini. Sayangnya, hal baik ini tak sepenuhnya disadari oleh kebanyakan orang Indonesia termasuk pemerintah pusat. Semangat untuk ‘merajut’ potensi dan perkembangan inilah yang belum kita punya, atau mungkin belum terimplementasi sempurna.

Kedua, memberi prioritas bagi pejalan kaki itu penting tapi tidak populer bagi kebanyakan negara. Fakta ini adalah salah satu hal yang cukup membuat saya sedih. Tak banyak pula peserta yang menyadari pentingnya memberikan prioritas kembali kepada pejalan kaki. Dari beberapa sesi, banyak diskusi yang justru menjadikan peralihan ke electronic motorcycle sebagai solusi daripada menambah dan/atau memperbaiki akses bagi pejalan kaki. Menurut mereka, pasar di negara mereka lebih cocok dengan kondisi e-motorcycle. Bagi saya, tentu tidak apalagi bagi Indonesia.

Bila menyoal emisi, mungkin iya electronic motorcycle merupakan salah satu alternatif yang lebih baik daripada mobil dan motor konvensional. Tapi bila menyoal pergerakan kota, apalagi berbicara mengenai memberikan kemudahan mobilitas bagi semua orang di dalam kota, seharusnya program-program yang disasar sebagai prioritas adalah memberikan kembali hak bagi pejalan kaki dan menambahkan kenyamanan bagi mereka. Sebab patut disadari bahwa dengan memberikan kenyamanan dan prioritas kepada pejalan kaki, maka akan sama saja dengan pemenuhan hak dasar manusia untuk berpindah dan/atau bermobilisasi dengan kaki. Setelah itu barulah berbicara mengenai pesepeda, public transport, transport management demand, dan lain sebagainya, termasuk shared-mobility.

Ketiga, meregulasi shared-mobility. Uber adalah salah satu contoh yang banyak sekali disebut selama berlangsungnya acara yang dikaitkan dengan ­shared-mobility. Di Indonesia sendiri, diawali dari komunitas nebengers, hingga munculnya Gojek, Grab, Uber, dan lain sebagainya dikenal masyarakat sebagai pengaplikasian shared-mobility. Isu dari berbagai negara masih sama. Menyoal first dan last-mile trip, shared-mobility model inilah yang lebih dipilih masyarakat kebanyakan. Namun sayangnya, tak adanya regulasi atau juga formalisasi penyedia jasa ini, justru menimbulkan permasalahan perkotaan yang baru. Contohnya saat ia menjadi salah satu faktor penyebab kemacetan lainnya di Jakarta.

Beberapa negara saat ini juga tengah mempertimbangkan untuk membuat batasan atau juga regulasi lain untuk mengatur keberadaan penyedia jasa tersebut. Bahkan faktanya di beberapa kota di beberapa negara juga telah memberlakukan larangan beroperasinya Uber. Hal serupa sebaiknya juga menjadi pertimbangan bagi Indonesia. Saya pribadi tidak langsung mengusulkan pelarangan, tapi saya lebih ingin bila kita berbicara mengenai shared-mobility, jadikan pula bike share sebagai opsi yang menjanjikan. Regulasi perlu disediakan agar kemudian tak memberikan kerugian bagi banyak pihak tapi juga disertai pembenahan pada transportasi publik dan perbaikan akses bagi pejalan kaki dan sepeda.

Terakhir, saya beranggapan bahwa Indonesia saat ini sudah jauh melangkah dan diberikan banyak keuntungan bila benar ingin menjadi kota pintar. Tapi alangkah bijaknya bila kemudian mendefinisikannya sebagai kota yang tanggap dan mampu memenuhi kebutuhan warganya baik itu dengan bantuan teknologi maupun yang tidak (atau berangsur-angsur dikenalkan dengan penggunaan teknologi tertentu). Jangan sampai kota-kota di Indonesia latah dengan mengadopsi banyak teknologi saja, tapi kemudian berakhir sebagai ‘kuburan data’. Data hanya sebatas dikumpulkan dan yang terkumpul hanya untuk ‘sebatas tahu’ tanpa ada follow up dari pengolahan data yang seharusnya memberikan kebaikan kembali atau lalu menyasar pemenuhan atas kebutuhan warga kotanya.

Subscribe

Sign up for updates on our projects, events and publications.

SIGN UP
Skip to content
Send this to a friend